For English version

Monday, January 25, 2016

Iri hati dan kebencian

Di kota besar, sekalipun gemerlap lampu di malam hari membuat suasana malam terasa terang bak di siang hari. Ada juga tempat-tempat yang pencahayaan lampu jalannya tidak baik dan remang-remang. Seperti di bawah kolong jembatan, daerah tepi sungai, dan daerah dekat rel kereta api, di tempat-tempat itu, biasanya ditinggali oleh mereka yang kesulitan menafkahi hidupnya dengan layak.

Beberapa tahun yang lalu, saya suka sekali nongkrong di warung di belakang kantor lama saya, Disana, saya kenal dengan seorang sales mobil, namanya Pak Tono, Orangnya ramah, perawakannya agak kurus dan tingginya kurang lebih sekitar 170 cm.

Awalnya, kita tidak saling kenal, tapi karena sering ketemu di warung, lama-lama kami jadi sering ngobrol, dan suatu waktu, kita membicarakan betapa sulitnya hidup dikota besar, dan betapa enaknya anak-anak yang di lahirkan dan besar di keluarga orang kaya. Mereka tidak pernah takut kelaparan, baju selalu baru, tidak kepanasan di jalan karena selalu di jemput dengan mobil, bahkan banyak dari mereka yang malas-malasan sekolah tetapi setelah lulus mereka tetap mampu mendapatkan penghasilan besar karena di beri modal  kerja oleh orang tua mereka. Biarpun sering gagal, mereka tetap saja mampu membuat usaha baru lagi, uang seakan tidak ada habisnya buat mereka.

" Dunia, benar-benar tidak adil", kata saya menyimpulkan obrolan kami, sambil terkekeh, Pak Tono menyetujui pikiran saya, " Ya memang seperti itu realitasnya , dik" katanya. Karena saya lebih muda sepuluh tahun dari Pak Tono, maka dia memanggil saya 'adik'.

Kemudian Pak Tono melanjutkan, " Saya sendiri lahir dari keluarga pemulung, orang tua saya pendapatannya tidak menentu, sehari dapat, dua hari tidak dapat, sudah jadi kebiasaan. Sedangkan keluarga saya jumlahnya cukup banyak, adik saya saja ada tiga orang, bayangkan susahnya hidup kami waktu itu".

" Saya pernah lho, tidak makan tiga hari berturut-turut, dan harus mengemis di jalan, agar saya dan adik-adik saya tidak kelaparan. Dan setiap kali saya melihat anak-anak orang kaya di dalam mobil, yang bisa makan-minum dengan puasnya, hati saya sangat perih. Hidup buat saya sangat kejam, dan Tuhan sangatlah tidak adil bagi keluarga saya".

" Lama-lama, timbul rasa marah dan rasa benci pada mereka yang punya nasib baik dan kaya. Saking bencinya, bila ada keluarga orang kaya yang tertimpa musibah, misalnya ada anggota keluarganya meninggal, saya sering datang. Disana, saya tahu pasti di beri makan, dan saya bisa mengutuki keluarga kaya tersebut dengan puasnya, menikmati penderitaan dan kesedihan mereka. Saya penuh dengan kebencian dan amarah waktu itu", kenang Pak Tono.

"Tetapi, hobi saya yang aneh tersebut, pada akhirnya jugalah yang mengubah seluruh hidup saya. Seiring dengan seringnya saya menghadiri acara kematian keluarga-keluarga kaya, saya sering diajak ngobrol oleh pihak keluarga mereka,  mereka bercerita tentang kehidupan keluarga mereka dan kehidupan orang yang meninggal. Saya jadi tahu banyak sekali cerita-cerita kehidupan orang-orang kaya yang saya benci. Lambat-laun, pandangan saya berubah tentang mereka, saya mulai menyadari bahwa kehidupan mereka yang saya anggap seperti surga ternyata tidaklah seindah yang saya bayangkan".

" Misalnya, ada seorang kakek berumur 70 tahun, meninggal karena serangan jantung, setelah dua anaknya, berkelahi sengit di depan beliau,meributkan soal pembagian warisan, didepan matanya. Beliau sebenarnya ingin anak-anaknya rukun, saling bantu antara sang kakak dan adik, tetapi, malah berkelahi memperebutkan warisan selagi dia masih hidup, karena begitu kuatirnya akan keselematan anak-anaknya dan kecewa karena merasa tidak bisa medidik dengan baik, penyakit jantung sang kakek akhirnya kambuh, dan beliau meninggal seketika".

" Ada juga, perkelahian di tempat pemakaman, antara keluarga istri kedua dan istri pertama, beserta anak-anak mereka, demi hak untuk dapat berdoa di depan makam sang ayah, tapi yang paling menyentuh saya dan membuat hati saya terketuk adalah ketika saya bertemu, seorang anak yang ayahnya menjadi korban kecelakaan pesawat terbang beberapa waktu yang lalu. Anak perempuan ini, tergolong anak berkebutuhan khusus, sejak kecil kedua belah kakinya tidak bisa di gerakkan dan harus tergantung kursi roda untuk bepergian."

"Ketika saya ngobrol dengan dia, dia menceritakan betapa baik hati ayahnya, yang selalu sabar menerima keberadaannya, selalu mengajarinya untuk tetap tabah dalam menghadapi kehidupan, dan tidak perlu, menyalahkan nasib, karena yang terpenting adalah apa yang di hati saat ini, bila menyalahkan nasib terus, maka tidak ada habisnya dan tidak mengubah apapun,"

" Anak itu, sangat tabah, dan membuat hati saya jadi malu". Kenang Pak Tono. " Usianya saja baru belasan tahun, ayahnya meninggal dan dalam keadaan cacat fisik, dia tidak malu akan kondisinya, dan siap berjuang demi masa depannya sendiri." Kemudian Pak Tono berhenti bercerita sebentar dan menyeruput kopinya.

"Saya, yang walaupun penuh kekurangan, tapi badan saya cukup sehat, tidak melakukan apapun kecuali memendam kebencian, meratapi kekurangan, dan mencaci maki mereka yang punya nasib baik. Tidak terpikir bagi saya sebelumnya jika orang kaya pun punya penderitaan nya sendiri. Dan yang membedakan kualitas antara manusia bukanlah harta dan keberuntungan yang di milikinya tetapi bagaimana reaksinya dalam mengahadapi kemalangan nya. Disitulah kualitas batin manusia dapat dilihat, saya malu sekali pada waktu itu", lanjut Pak Tono.

" Jika dipikir, apa yang saya telah lakukan untuk menghadapi kehidupan kecuali marah, benci dan memendam iri dalam hati, sungguh saya merasa sebagai seorang yang pengecut. Kemudian, saya bertemu dengan seorang ibu, yang anaknya meninggal karena overdosis narkoba, beliau merasa sedih, karena anaknya adalah anak laki satu-satunya, tetapi beliau mengiklaskannya dan berikrar untuk ikut organisasi sosial dalam memerangi narkoba, agar anak-anak lain tidak terjerumus narkoba dan berakhir seperti anaknya . Hati saya makin menjerit, apa yang saya lakukan selama ini? Haruskah saya merasa lebih baik dari sang ibu ?". Sambil berkata  demikian, mata Pak Tono berkaca-kaca, emosinya membuat suaranya bergetar.

Mendengar cerita Pak Tono, saya merasa emosi saya ikut merasakan kepedihan dan pergulatan batin beliau. Ingin segera rasanya mendengarkan apa yang selanjutnya terjadi. Tapi melihat mata Pak Tono yang berkaca-kaca dan emosinya yang meluap, saya akhirnya cuma bisa terdiam, menunggu, dan tidak berusaha bertanya.

Mungkin melihat saya begitu antusias mendengarkan ceritanya, atau memang karena terbawa suasana, akhirnya Pak Tono melanjutkan ceritanya. " Setelah itu, saya banyak sekali melakukan perenungan, dan akhirnya memutuskan, bahwa saya tidak bisa hidup dalam kebencian seperti itu lagi, dan lebih baik saya memperjuangkan masa depan saya, mungkin saya boleh miskin, tapi saya tidak boleh miskin batin."

" Sejak bertekad demikian, saya mulai berpikir bagaimana caranya memulai perubahan,  kemudian saya berpikir bahwa untuk berubah saya harus pintar, dan untuk pintar saya perlu belajar, akhirnya saya mulai mengumpulkan buku-buku bekas yang sering saya dapatkan di tempat-tempat sampah, saya membiasakan diri saya untuk membaca, apa saja yang saya dapatkan, saya baca, terkadang ada juga organisasi sosial menyempatkan diri untuk mengajak para pemulung belajar, dan kemudian ada juga program pemerintah kejar paket a,b,c. Lalu ada juga program dari partai politik yang ingin kadernya di pilih, memberikan ketrampilan, bantuan sosial dan lain-lain. Semuanya saya ikuti, dan saya merasa sejak saya memutuskan berubah, banyak sekali jalan yang terbuka untuk saya".

" Kemudian, setelah merasa cukup belajar, saya memutuskan untuk melamar pekerjaan di daerah kota, apa saja selain mengemis  saya jalani, kuli, pembantu rumah tangga, tukang taman dsb. Saya tidak pilih -pilih pekerjaan, tetapi kadang kala saya dapat bos yang suka marah, menuntut terlalu banya hingga saya sering sakit, tidak membayar gaji sesuai janji, walaupun demikian saya mengiklaskan itu semua, dan bergerak maju, setiap kali saya ganti profesi, saya merasa ada peningkatan dalam karakter maupun kemampuan saya".

" Suatu waktu, saya bekerja pada seorang bos, yang mau capai memberi wejangan, memberi saya waktu untuk membaca dan mengajak saya lebih berwawasan. Melihat saya suka belajar, lambat laun kepercayaan yang di berikan kepada saya makin besar, karir saya di perusahaan, semakin meningkat, ". Sambil berkata demikian, Pak Tono tersenyum bangga.

"Seiring dengan kemajuan karir saya, maka jodoh pun datang. Walaupun, istri saya tidak secantik bintang film, tapi dia selalu ada buat saya di kala susah dan senang, Sering berantem juga sih, tapi buat saya, dia sahabat dan teman hidup saya. " Lanjut Pak Tono.

"Setelah menikah, saya coba-coba, usaha sampingan, jual-beli mobil, dan karena saya selalu menilai mobil dengan baik, dan memberi informasi dengan benar kepada pelangga, lama-lama, banyak orang percaya pada kemampuan saya untuk menilai mobil bekas, sampai akhirnya saya mendirikan showroom mobil bekas saya sendiri". Kata pak Tono sambil menunjuk showroom mobil bekas di seberang jalan.

Saya sangat terkejut, selama ini, saya kira Pak Tono adalah sales mobil yang kebetulan sering nongkron di warung untuk istirahat. " Jadi Pak Tono bukan seorang sales mobil, tapi pemilik show room mobil itu?" tanya saya setengah tidak percaya.

" Lho, saya memang seorang sales mobil, tapi sekaligus pemilik dari show room itu ". Jawab Pak Tono santai, dan kembali menyeruput kopinya.






0 comments: